Di mana ada awal, di situ pasti ada akhir. Di mana ada perjalanan, di situ pasti ada kata “Pulang”
Mengintip Pembuatan Bakpia Pathok 25 - Tidak terasa, akhirnya ini adalah
catatan terakhir mengenai kunjungan saya ke Jogja Maret lalu. Waktu itu, saya
sedikit menyesal karena tidak jalan-jalan sendirian. Sungguh. Saya lupa, kalau
ada Go-Jek! *katrok*
Hari terakhir, saya pergi
jalan-jalan dengan Nana, kawan saya yang saya kenal di Pare. Saya minta kepada
dia, untuk mengantar saya ke tempat pembuatan Bakpia Pathok. Lalu, dia
menyarankan untuk ke Bakpia 25. Saya mengiyakan.
Lokasi Bakpia 25, ada di daerah
dekat Malioboro – diingat-ingat semua lokasi wisata dekat Malioboro -. Jadi,
dari Jalan Malioboro, kami masuk ke arah kanan. Tidak jauh dari sana, ada
deretan toko-toko Bakpia, tidak hanya Bakpia 25 saja. Kemudian, di salah satu
toko tersebut, ada toko oleh-oleh Bakpia 25. Toko tersebut amat besar dan luas.
“Kamu mau beli langsung, atau
lihat pembuatannya?”tanya Nana, waktu itu.
“Pembuatannya,”jawabku. Lalu,
kami diberitahu oleh satpam di toko tersebut, kalau pembuatan Bakpia 25 masih
lurus, lalu belok kanan. Ada sebuah plakat kecil menunjukkan jalan ke arah
pembuatan Bakpia 25.
Pembuatan Bakpia Pathok 25
Di jalan kecil tersebut, ada sebuah ujung. Pada ujung tersebutlah, ada sebuah bangunan yang menyerupai pabrik – iyalah- tempat pembuatan Bakpia Pathok 25. Ternyata, tidak hanya saya saja yang ada di sana. Tapi, banyak pengunjung lainnya. Bukan sekadar ingin melihat pembuatan Bakpia, tapi juga ingin membeli langsung Bakpia Pathok 25 yang hangat.
Saat kami masuk, kami mencicipi
bakpia dalam wadah kardus kecil. Nampaknya, itu bakpia yang bentuknya tidak
sempurna, sehingga dibuat untuk icip-icip. Lalu, kami diantar oleh mbak-mbak
pegawai di situ, untuk melihat proses pembuatan Bakpia Pathok 25. Ternyata, tempat
pembuatannya tidak jauh dari toko kecil di depan.
Pegawai di Bakpia Pathok 25 yang
bertugas untuk membuat bakpia, amatlah banyak. Dan, kerjanya cepat sekali loh.
Jadi, saya lihat ada setumpuk kacang hijau yang sudah matang, kemudian
dimasukkan ke dalam adonan bakpia, dibentuk kecil-kecil, pipih. Barulah bakpia
dimasukkan ke dalam oven.
Setelah puas melihat pembuatan
bakpia, saya kembali ke depan. Membeli bakpia tentunya. Saya membeli satu kotak
bakpia campur, satu kotak bakpia keju, dan satu kotak bakpia kacang hijau. Dari
semua rasa yang saya beli, saya paling suka yang kacang hijau. Rasanya pas.
Varian rasa dari Bakpia Pathok 25 cukup
banyak. Ada rasa durian, cokelat, nanas, dan lain-lain. Untuk harga cukup
bervarian. Untuk Bakpia Kacang Hijau dipatok dengan harga Rp.30.000-, Bakpia
Campur dan Keju harga Rp. 35.000-,. Tapi, setelah saya lihat struk pembayaran,
ternyata setiap kotak mendapatkan potongan seharga Rp. 5000-,. Ah, tahu begitu
beli lebih saya. *xoxo*
Lokasi dari Bakpia Pathok Pathok 25,
tepat berada di Jl. AIP II KS Tubun NG I/504, Danurejan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi, ini alamat tokonya. Untuk tempat pembuatannya tidak jauh dari situ kok.
Mampir ke Taman Sari
Usai melihat dan membeli Bakpia
Pathok Pathok 25, Nana mengajak saya mampir ke Taman Sari. Lokasinya ya masih sekitar
situ-situ saja. Tepatnya, di Jl. Taman, Kraton, Kota Yogyakarta. Sayangnya, waktu itu sudah pukul tiga sore,
sehingga Taman Sari sudah tutup. Ah, seandainya kami datang lebih awal, lumayan
bisa lihat-lihat peninggalan kerajaan.
Jadi, di daerah Taman Sari
tersebut semacam peninggalan kerajaan. Jalan raya untuk menuju Taman Sari
berupa dinding-dinding tinggi gitu. Awal masuknya pun ada sebuah gerbang. Ya,
namanya juga Jogja.
Karena sudah tutup, saya hanya
bisa memotret dari luar saja. Ya, lumayan. Kapan-kapan bisa ke sana lagi.
*xoxo*
Berfoto di Alun-Alun Jogja
Masih di kawasan tersebut, Nana
mengajak saya ke Alun-alun. Kata si Nana, alun-alun kalau malam lebih bagus
lagi, karena ada sepeda lampu. Iya sih, saya pernah melihatnya di internet.
Sayang sekali, Nana tidak bisa menemani sampai malam, karena ada kepentingan.
Tapi, tidak masalah. Saya bisa berfoto ria di sini, sembari melihat anak-anak
kecil berlarian mengejar gelembung sabun.
Selain itu, di alun-alun sini
terkenal dengan dua pohon beringin. Mitosnya, kalau kita bisa melewati pohon
beringin dengan mata tertutup, apa yang kita wujudkan bisa terkabul loh. Hanya
mitos. Tapi, banyak juga orang yang mencobanya. Saya? Ah, tidak. Saya takut
nabrak orang nanti.
Dari alun-alun, saya kembali ke
Malioboro. Si Laki-laki Melankolis, minta oleh-oleh blankon.
Akhirnya, hari itu berakhir juga.
Hari saya berada di Jogja, yang awal rencana hanya tiga hari, menjadi seminggu.
Tapi, saya tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Ya, ya. Ada hal-hal yang
tak bisa kita hindari, meskipun kita berusaha untuk menjauh.
Yang paling saya rindukan
mengenai Jogja adalah, banyak. Seakan-akan, banyak hal yang belum saya jamah di
sana. Seakan-akan Jogja punya magnet yang selalu menarik hati saya untuk ke
sana, dan menetap.
Hal yang paling saya sesalkan
adalah kurangnya persiapan waktu perjalanan. Seharusnya, saya mendaftar ke mana
saja saya akan pergi. Sehingga, saya tidak melewatkan live music jazz yang
selalu ada di setiap Senin malam. Ah, saya menyesal.
Esoknya, hari Minggu saya diantar
Rizky ke Stasiun Lempuyangan. Kami sudah beli tiket di agen, dan mencetak tiket
sendiri di Stasiun. Ya, berbeda dengan di Mojokerto yang harus antri, di
Stasiun Lempuyangan ada mesin pencetak tiket sendiri. Tinggal masukkan kode
booking, dan jadi.
Dan, lagu-lagu melankolis pun
mengantarkan saya pulang.
xoxo,
Wulan K.
Kangen Bakpia Pathuk 25 plus Malioboronya sekalian
ReplyDeletekelihatannya enak makan bakpia hangat - hangat.. :)
ReplyDeletengelihat bangunan pabriknya, kayaknya masih bangunan lama ya. bagus euy. pembuatan bakpia ini suka lihat juga di tivi, gila banyak banget karyawannya, jadi kebayang seberapa banyak juga yang beli bakpianya ckckckck
ReplyDeleteMantaps :D
ReplyDelete