Perjalanan ke Pulau Bali ala-ala Backpacker - Sebelumnya, saya sama sekali tak
memiliki rencana untuk pergi ke Bali. Ya memang, bila ditanya apakah Bali
merupakan salah satu destinasi yang masuk dalam wishlist saya. Saya jawab, iya. Tapi, untuk mengunjunginya dalam
waktu dekat, tidak. Banyak tempat di Indonesia yang ingin saya kunjungi –
meskipun saya ini suka mabuk dalam perjalanan – salah satunya adalah Semarang
dan Lombok. Eh, ternyata Tuhan mempunyai rencana lain, saya justru terdampar di
pulau Bali.
Ide ini tercetus dalam obrolan
sedikit guyonan di grup Emak-emak Blogger. Tepatnya sekitar bulan Juni, bulan
puasa lalu. Sampai akhirnya, Mbak Eda, pemilik nyonyabesar.com menjadi penghubung
sampai akhirnya kami bisa mendapatkan penginapan secara cuma-cuma di Bali. Saya
pun tak pikir panjang. Segera saya daftarkan nama beserta alamat blog saya.
Masalah biaya, bisa dipikir belakangan, toh masih bulan Agustus nanti. Masih
ada waktu untuk mengumpulkan biaya perjalanan dan jajan di sana. Padahal, saat
itu saya sedang pengiritan untuk membeli Etro dan laptop baru.
Jauh-jauh hari sebelum
keberangkatan, saya sudah memesan tiket kereta api. Kira-kira satu bulan
sebelum keberangkatan. Kami membeli tiket kereta api pulang-pergi, kalau
ditotal saya menghabiskan biaya perjalanan kereta Rp. 500.000, kelas Bisnis.
Total delapan blogger Surabaya
yang akan melakukan perjalanan ke Bali tanggal 12-14 Agustus. Lima dari delapan
orang tersebut naik kereta dan tiga terakhir memilih naik pesawat terbang. Sejak
awal, saya lebih memilih kereta api karena memang ingin tahu medan perjalanan
ala-ala backpacker. Terlihat asik aja, gitu. Nenteng-nenteng ransel naik
kereta, kemudian kapal. Tapi, ternyata medannya benar-benar di luar dugaan.
Karena di Mojokerto stasiunnya
kecil dan tidak dilewati oleh kereta ke arah Banyuwangi, maka saya harus pergi
ke Surabaya dahulu naik motor. Tepatnya, saya harus ke stasiun Gubeng Surabaya.
Saya berangkat dari Mojokerto sekitar pukul empat sore, sampai di Surabaya saya
numpang ke rumah Mbak Tikha dulu buat shalat magrib dan isya. Setelah Isya, saya
baru melanjutkan perjalanan ke stasiun Gubeng. Dan, bodohnya saya, saya baru
tahu kalau stasiun Gubeng yang harus saya kunjungi adalah stasiun Gubeng Baru.
Untungnya, lokasi stasiun Gubeng
baru tak jauh dari stasiun Gubeng lama. Tepatnya, lokasinya berada di belakang
stasiun Gubeng lama. Saya pun mengikuti arahan yang dijelaskan oleh Mbak Tikha
sebelumnya. Alhamdulillah, saya tidak nyasar.
Ya, ya, ternyata stasiun Gubeng
Surabaya baru besar juga. Baru kali ini saya menginjakkan kaki di stasiun
besar. Terus terang, agak-agak norak. Bahkan, untuk cetak tiket saya masih
ragu-ragu. Saya jalan ke sana kemari, meyakinkan diri sendiri kalau mesin itu
adalah untuk cetak tiket. Saya pun akhirnya mengikuti seseorang yang terlihat
akan mencetak tiket kereta juga. Saya berdiri di belakangnya, sembari
lirik-lirik bagaimana caranya. Usai orang itu pergi, saya pun maju dan mencetak
tiket kereta api tersebut. Setelah memasukkan kode booking dan kertas bertuliskan boarding
pass pun keluar. Eh tapi, kok warnanya oranye? Bukan biru seperti tiket
biasaya? Saya pun, ragu lagi. Jangan-jangan saya salah cetak?
Haha. Ternyata, tiket kereta api
sekarang memang berwarna oranye tipis semacam kertas biasa – tolong jangan katakan pada siapa-siapa kalau
saya sekatrok ini. Plis.
Jadi, yang akan berangkat dari
stasiun Gubeng Surabaya adalah saya, Mbak Yuni, dan Mbak Rahma beserta
keluarga. Sedangkan Mbak Tatit dan Mbak Vanda berangkat dari stasiun Sidoarjo.
Keberangkatan kereta Mutiara Timur
Malam sekitar pukul sepuluh malam dan jika sesuai jadwal akan sampai di Stasiun
Banyuwangi besok pagi atau pukul 04:00 WIB.
Keriuhan perjalanan kereta saya
kali ini dipersembahkan oleh Salfa, putri cantik dari Mbak Rahma. Di kereta
jadi ramai karena celotehannya. Perjalanan kereta api selama enam jam pun bisa
saya lewati tanpa terasa. Memang sih, saya suka sekali melakukan perjalanan
dengan kereta api. Entah kenapa, tapi selama ini belum pernah mabuk di kereta
api.
Kami harus melewati beberapa
stasiun untuk sampai ke Stasiun Banyuwangi Baru. Seperti yang dijadwalkan, kami
sampai di Banyuwangi pukul empat pagi waktu setempat. Kami pun
berbondong-bondong membawa barang bawaan masing-masing – saya membawa tas
ransel dan tas selempang coklat. Ternyata, di depan stasiun sudah ada bus
ukuran biasa yang menunggu kami. Kami pun segera antre untuk naik bus,
sayangnya ternyata kuota tak mencukupi. Kami pun mundur, meskipun sang supir
terus berkata “Masuk. Masuk.” Siapa juga yang mau berdesak-desakkan di dalam,
dalam keadaan kami kelelahan karena belum tidur?
Setelah perbincangan alot dan sedikit
keluh kesah pada sang sopir, akhirnya kami pun nurut dengan masuk ke dalam bus
dan kami berdiri! Iya. Tentunya, banyak penumpang yang ngomel-ngomel dan
marah-marah. Karena apa? Karena kami sudah membayar dan mendapatkan fasilitas
yang tidak sesuai. Saya membayangkan, apakah saya harus berdiri dan
berdesak-desakan berjam-jam? Oh, tidak!
Teman-teman blogger pun tak
menyia-nyiakan hal tersebut. Kamera pun dikeluarkan semua dan jepret sana sini.
Saya? Untuk berdiri saja susah, apalagi keluarin kamera. Eh tapi, ternyata
pelabuhan cukup dekat dengan stasiun. Sebenarnya, jalan kaki saja bisa – xoxo.
Setelah bus di masukkan ke dalam
kapal, kami diminta turun semua dan naik ke atas (lantai dua kapal). Di sana
ternyata sudah ada tempat-tempat duduk, televisi ukuran besar, warung kecil –
jualan semacam mi gelas, minuman dan makanan ringan lainnya, tempat sholat, dan
toilet. Sebelumnya, kapal penyeberangan saya pikir ya kapal aja. Tidak ada
hal-hal semacam itu. Ya, saya kurang kreatif sepertinya. Perjalanan antara
pelabuhan Ketapang ke pelabuhan Gilimanuk membutuhkan waktu sekitar satu jam.
Tentunya, hal-hal semacam toilet harus disediakan. Masa iya, harus buang air di
laut sih, Lan?
Sebelum berangkat ke Bali, sepupu
sudah cerita kalau kapal akan goyang-goyang. Dia cerita gurunya sampai
muntah-muntah meskipun sudah minum obat anti mabuk. Saya was-was juga dong. Ya,
meskipun was-wasnya tidak sampai minum obat anti mabuk juga. Kenapa? Karena
saya sedang menguji ketahanan tubuh saya sendiri.
Ternyata benar. Ketika kapal
mulai berangkat, kapal goyang-goyang dan membuat kepala pusing (saya
menyebutnya mbliyur. Itu loh bingung,
tipe-tipe kayak mau pingsan. Tapi, ini nggak sampai pingsan). Daripada saya
bingung ketika duduk di dalam, saya memilih keluar dan berdiri di dek kapal.
Melihat matahari yang hendak keluar. Terus terang, saya melihat ke atas terus
agar kepala saya tak pusing-pusing amat. Saya benar-benar mencoba bertahan,
halah.
Perjalanan sudah cukup jauh dan
saya semakin bingung. Sebelumnya saya melihat matahari hendak muncul di sebelah
kiri saya, lalu tidak lama kemudian matahari ada di sebelah kanan saya. Secara
logika, ini kapal muter-muter, kan? Lha, kalau muter terus kapan sampainya? Saya
baru tahu, kalau kapal berlayar mengikuti arah arus, sehingga harus
berputar-putar dahulu. Informasi ini saya dapatkan dari Mbak Rahma. Saya
benar-benar ingin sampai di pelabuhan Gilimanuk. Takutnya, saya akan muntah di
kapal.
Ya, ternyata ketakutan saya
memang berlebihan. Sampai di pelabuhan Gilimanuk, saya masih sehat-sehat saja.
Sama sekali tak ada perasaan ingin muntah atau sakit kepala. Ah, saya yakin
perjalanan ini akan menyenangkan.
Kapal yang saya tumpangi menepi,
kemudian dari arah pelabuhan ada petugas yang mengarahkan tangga agar pas
dengan kapal. Err, tangganya bisa bergerak sana sini – katrok lagi. Kami pun keluar dari pelabuhan dan di sana sudah
tersedia mini bus yang akan mengangkut kami ke Denpasar. Dan, saya baru tahu
kalau perjalanan dari Gilimanuk ke Denpasar membutuhkan waktu sekitar empat
jam.
Saya pun melongo. Kuat nggak ya?
Untuk mengatasi kekhawatiran
saya, bukanlah minum obat anti mabuk. Well,
saya sudah sempat membuka bungkus obat anti mabuk, tapi saya urungkan. Maka,
saya memilih untuk memejamkan mata dan memakai masker. Cara ini saya lakukan
agar tak banyak-banyak menghirup udara kotor – bau-bau yang membuat mual – dan
tidak menjadi linglung melihat keluar bus.
Saya memejamkan mata hanya
sekitar satu jam saja, setelah itu saya melihat pemandangan yang menyenangkan
di luar sana. Hamparan hutan-hutan di sana banyak sapi-sapi berwarna coklat
muda. Sapi-sapi itu dibiarkan begitu saja di atas hamparan rumput hijau. Tak
jauh dari hamparan rumput, saya melihat pantai. Ah, di Bali memang dikelilingi
pantai.
By the way, saya sudah di Bali.
Perjalanan pelabuhan Gilimanuk
dan Denpasar yang seharusnya memakan waktu sekitar empat jam, kini memakan
waktu sekitar 6-7 jam karena macet. Kami naik bus sampai di Tiara – pusat
perbelanjaan – kemudian melanjutkan perjalanan ke hotel menggunakan uber dan
sampai di hotel sekitar jam satu siang waktu Bali.
Sebelum memilih Uber sebagai alat
transportasi selanjutnya, ada beberapa kendala dengan supir taksi. Ternyata, di
sana supir taksi dan Uber main kucing-kucingan. Ah, sama-sama cari makan.
Sedangkan kami cari murah.
Awalnya, supir taksi yang mangkal
di depan Tiara menawari satu mobil dengan biaya Rp. 150.000, sedangkan kami
membutuhkan dua mobil karena berenam. Sudah kelihatan toh, per orang harus
membayar Rp. 50.000. Akhirnya, kami memutuskan memakai uber dengan satu mobil
berenam – ini perlu negosiasi dulu. Tentunya, saat memesan uber kami berjalan
jauh dahulu sampai tidak terlihat pangkalan supir taksi.
Saya pikir, perjalanan saya sudah
dekat. Ternyata saya salah. Perjalanan dari Tiara sampai hotel lama juga.
Sekitar satu sampai dua jam. Jalanan lumayan macet, terutama di daera Legian,
lokasi hotel kami.
Sesampainya di hotel kami
langsung check in dengan menyebutkan
nama Mbak Eda. Kami mendapatkan empat kamar secara cuma-cuma, setiap kamar
dihuni oleh dua orang. Saya satu kamar dengan Mbak Eda dan Ara (anak Mbak Eda).
Sesampainya di kamar, saya
langsung foto-foto keadaan kamar sebelum itu kamar saya obrak abrik dan mandi.
Finally, saya berada di
Bali.
xoxo,
Wulan K.
Finally. Bali
ReplyDeleteHaha aku ngakak baca ceritamu Wul :D ala-ala backpacker mabuk. Tapi cuma mbliyur kan? nggak sampai byor *Piss
ReplyDeleteAaaaakkkkk hebaaaat menembus batas diri sendiri. Ayo yang lebih jauh lagi naik kapalnya :D
ReplyDelete*kayak sendirinya gak mabokan aja hih*
Backpacker juga bksa mabuk ya ternyata hihihi pissss Wul.
ReplyDeletePernah ngerasain naik bis dari Surabaya ke Bali, jamannya perpisahan SMP sama SMA dulu. Seru emang kalo rame2 gitu, kalo sendiri yo ogah haha...balung tuwek *eh