Jalan Legian Bali - Indonesia atau Luar Negeri? - Udara malam mulai menggigit,
membuat saya merapatkan jaket parka yang tak seberapa tebal itu. Meskipun badan
lelah, perut masih terasa mual, dan saya sudah siap-siap jika badan semakin
memburuk. Saya pun tetap mengiyakan ajakan Mbak Yuni untuk jalan-jalan di
sekitar hotel, tepatnya di jalan Legian.
Tujuan kami malam itu adalah
pergi melihat monumen Bom Bali.
Dari arah Siesta Hotel, kami
mengambil jalan ke arah kanan, kemudian menyeberang jalan dan melewati jalan
sepi. Sampai akhirnya kami menemukan jalan raya yang terbilang cukup ramai
pula. Kami berjalan melewati trotoar lurus sampai akhirnya sampai di jalan
Legian. Lalu, kami mengambil arah kiri. Di sana, saya melihat banyak sekali
pertokoan dengan instalansi lampu-lampu jalan, papan-papan menyala,
penjual-penjual, jalan yang dipenuhi oleh mobil dan motor, kafe, bar, dan bule.
Tak hanya bule. Di sana saya juga
banyak menjumpai anjing-anjing tak bertuan. Bagi saya yang muslim, tentunya
sangat menghindarinya. Bukan sekadar karena apa, tapi karena saya takut juga.
Xoxo.
Lagi-lagi, saya merapatkan jaket.
Bukan karena takut akan dijahili atau apa, tapi udara semakin dingin. Melihat
itu semua, segala rasa sakit akibat mual dan muntah tadi siang, bagi saya tak
seberapa. Sepanjang jalan itu membuat saya takjub. Saya hampir tak mempercayai
sedang berada di Indonesia kalau saja tidak melihat orang-orang lokal yang
berjualan di sisi-sisi jalan.
Serius, ini Indonesia?
Bisa dibilang, sepanjang jalanan yang
menghubungkan Kuta dan Seminyak itu hanya berisi orang-orang luar negeri. Orang-orang
lokal hanya memenuhi kios-kios yang mereka jaga. Saya, Mbak Yuni, Mbak Tatit,
dan Mbak Vanda, tentu saja sebagai turis lokal.
Bangunan-bangunan berupa kafe,
bar, kios-kios, pusat perbelanjaan benar-benar seperti yang sering saya
bayangkan selama ini ketika menulis sebuah cerita. Seakan-akan saya berada di
luar negeri, tempat yang sering saya lihat dalam televisi.
Ah, saya mulai meracau.
Tentunya, kesempatan langkah
tersebut tak saya lewatkan begitu saja. Besok, saya harus kembali ke Jawa. Saya
harus pulang ke Mojokerto. Maka, saya menaikkan Etro yang sedari tadi saya
kalungkan dan mengabadikan setiap momen yang indah di sana. Bangunan-bangunan,
yang mungkin tak akan saya temui lagi.
Sayangnya, ketika saya membidik
beberapa bangunan dengan lampu-lampu di malam itu. Hasil yang saya lihat di
layar Etro tak bagus. Cahaya terlalu dominan. Kemudian, saya melepas filter uv
pada Etro dan hasil menjadi cukup bagus. Oh, ternyata memakai filter uv di
malam hari tak bagus. Ah, maaf saya masih amatiran.
Sesekali, saya dan Mbak Yuni
berhenti untuk memotret. Sedangkan Mbak Tatit dan Mbak Vanda terus berjalan di
depan. Lalu, kami berjalan lagi, mengangkat kamera, dan berhenti. Begitu terus
selama perjalanan.
Selama perjalanan itu, saya
banyak menjumpai bule-bule yang membawa bir, duduk-duduk di dalam kafe sambil
mengobrol, bahkan ada yang bersendagurau dengan membawa minuman keras sampai di
trotoar. Saya sampai-sampai harus berjalan menghindar.
Di jalan raya sendiri sangat
padat merayap meskipun itu jalan hanya satu arah. Beberapa taksi ketika
menerima penumpang pun berhenti di tengah jalan dan menyebabkan arus semakin
macet saja.
Setelah berjalan selama lima
belas sampai dua puluh menit, akhirnya kami sampai di monumen bom Bali.
Awalnya, saya tak tahu kalau kita sudah sampai di tujuan. Padahal, saya sudah
foto-foto. Setelah lama foto-foto, saya baru bertanya pada Mbak Tatit,”Mbak,
monumen Bom Bali di mana?”
Mbak Tatit menjawab, “Ya ini.”Sontak
saya tertawa. Astaga, sepertinya saya memang sudah terlalu capai.
Tak hanya kami. Di sana juga
banyak orang yang berfoto di depan monumen Bom Bali. Saya sendiri lebih memilih
memotret keadaan sekitar daripada selfi. Entah kenapa.
Setelah puas dengan perjalanan
tersebut, kami memutuskan kembali ke hotel. Telapak kaki saya rasanya sudah
mati rasa. Badan benar-benar lelah. Tapi saya sama sekali tak menyesal ikut
keluar malam-malam begini.
Perjalanan pulang tak jauh
berbeda, kami juga tetap tak melepaskan kesempatan untuk mengabadikan momen. Bedanya,
kali ini kami memilih jalan lurus sampai di sebuah kedai pizza kami belok ke
arah kanan. Ternyata, rute tersebut lebih menghemat waktu.
Sampai di hotel, saya langsung
membersihkan diri, shalat dan tidur.
Jangan salah. Meskipun besok saya
harus kembali ke Jawa, kami masih menyempatkan diri untuk mengunjungi Pantai
Kuta.
Jalan kaki, tentunya.
xoxo,
Wulan K.
No comments:
Post a Comment