Mojopahit Jeep Community: Touring Bareng ke Pantai Sine - Yeah, akhirnya saya memulai tahun
2017 ini traveling ke Tulungagung. Seperti biasa, ikutan touring bareng
Mojopahit Jeep Community. Perjalanan kali ini, saya tidak bersama kakak saya,
melainkan bersama Om Ajib. Sebenarnya, yang ikutan komunitas ini ada tiga
orang, kakak saya, Om, sama sepupu saya, Gana. Jadinya, enak bisa ikut siapa
saja. Xoxo.
Kami berangkat habis magrib, dan
berkumpul di Trowulan. Kali ini, ada sekitar 38 mobil yang ikutan touring ke
Tulungagung, lebih tepatnya ke pantai Sine.
Seperti biasa, sebelum berangkat
kami berdoa terlebih dahulu, sesuai kepercayaan masing-masing. Pun sebelum itu,
ada beberapa mobil yang memegang Handy
Talky, untuk mengkoordinir anggota. Yah, tujuannya agar bisa update informasi kepada anggota MJC yang
sudah berada di depan, bila-bila ada anggota lain yang mobilnya bermasalah.
Jangan dikira, perjalanan –misal-
ke Blitar, 3-4 jam itu pasti segitu. Tidak sama sekali, karena setiap kali ada
mobil anggota yang bermasalah maka, semua anggota akan berhenti sampai mobil
bisa kembali menyala. Terus menerus seperti itu, biarpun pada akhirnya nanti
akan ada lagi mobil yang mogok.
Seperti yang pernah saya
ceritakan sebelumnya, bahwa touring bersama itu bukan mengenai tujuannya,
tetapi mengenai perjalanan yang dilakukan bersama. Actually, tujuannya tidak terlalu penting, ke mana. Yang penting
adalah kebersamaannya. Kami pun berangkat, sekitar pukul sepuluh malam.
Rute yang kami lewati mulai dari
Trowulan-Jombang-Kediri. Seingat saya sih, seperti itu. Maklum, selama
perjalanan saya hanya tidur di belakang. Gila, ngantuk banget. Coba tebak,
kenapa? Karena saya minum obat anti mabuk – xoxo. Bahkan, ketika kami melewati
Simpang Lima, Kediri dan berhenti di sana sejenak,saya nggak keluar. Iya,
ngantuk banget dan malas loncat-loncat melewati kursi mobil.
Seperti perjalanan sebelumnya,
kami ke arah Pantai Selatan yang mengharuskan melewati pegunungan. Ya, bisa
ditebak, kami melewati hutan dengan jalan menanjak. Percaya deh, kalau
sendirian bakalan mikir seribu kali untuk melewatinya. Karena benar-benar
menanjak dengan jurang di sisi jalan dan tanah-tanah di sisi lainnya yang siap
ambruk.
Ketika berangkat, saya tidak
melihat jurang-jurang yang dalam karena hanya melihat gelapnya malam. Eh,
ketika pulang pemandangannya indah banget, tapi benar-benar jurangnya dalam. Sayangnya,
saya tidak bisa memotret, lagi-lagi karena rempong.
Selama perjalanan tidak ada
kendala yang berarti, hanya beberapa kali berhenti untuk mengisi bahan bakar
atau sekadar mengecek keadaan mobil. Sampai akhirnya, kami tiba di Pantai Sine
dini hari, sekitar jam 4 pagi.
Menurut informasi, Pantai Sine
merupakan pantai yang masih suci – halah-, masih belum banyak yang tahu
mengenai pantai ini. Sampai-sampai, saya takut tidak ada toilet – xoxo.
Akhirnya, saya googling dahulu, ternyata ada. Sampai di sana, saya pun segera
menuju toilet. Sayangnya, toilet di Pantai Sine tidak sebanyak di Pantai Blitar
atau Malang yang pernah saya kunjungi. Hanya ada sekitar dua biji saja. Mana
udah subuh, tapi toiletnya masih tutup lagi. Akhirnya, gedor-gedor deh.
Sebelum, matahari benar-benar
muncul, kami memilih untuk tidur beralaskan selimut di pendopo. Asli dingin
banget udaranya. Padahal ini pantai loh. Tapi, memang sih bukan dingin yang
sejuk semacam di pegunungan, tetapi dingin angin laut.
Saya selalu berharap hari yang
cerah, awan putih, langit biru dan udara hangat ketika plesiran. Pagi itu pun,
saya berharap dapat mengabadikan matahari terbit dengan Etro. Maklum, saya
benar-benar masih belajar fotografi dan benar-benar ingin mengabadikan matahari
terbit atau matahari tenggelam. Sebelumnya, saya mencari informasi di Om
Google, kalau di Pantai Sine, memiliki matahari terbit yang cantik. Sayangnya,
pagi itu mendung. Matahari enggan muncul menampakkan diri.
Pasir di Pantai Sine lembut dan
benar-benar bersih dari sampah. Yang saya temukan hanyalah sampah-sampah dari
laut, bukan sampah dari manusia. Mungkin juga karena pantai ini masih jarang
dikunjungi. Saya juga masih melihat banyak nelayan mencari ikan di sini dan
kapal-kapal tersebar nun jauh di lautan lepas.
Saya pun mengambil beberapa foto
bersama sepupu-sepupu saya. Melihat beberapa teman MJC yang menikmati waktu di
tepi pantai dengan mobil masing-masing. Kesempatan langka, ada pantai sepi
dengan bibir pantai luas. Untuk itu, mereka pun mengendarai mobil di tepi
pantai.
Di sana pun ada semacam danau kecil yang terhubung dengan lautan dan baru-baru ini mendapatkan informasi di Pantai Sine pun ada goa. Eh, saya baru tahu.
Menjelang siang, kami pergi ke
warung dekat pantai. Membeli sarapan yaitu ikan asap beserta lalapannya. Seekor
ikan asap dihargai Rp 5.000 ukuran kecil, sehingga beserta nasi dan lainnya
menjadi Rp 10.000. Lumayan murah, kan? Tapi ingat ya, masakan di Tulungagung
pedas.
Selesai sarapan, saya pergi ke
kamar mandi untuk membersihkan diri dan dandan dong, tentunya. Ketika kembali,
saya melihat Om saya sudah di dalam mobil temannya yang susah untuk naik
kembali ke permukaan setelah di bawa ke tepi pantai. Nyangkut karena pasir
pantai. Teman-teman lainnya pun membantu untuk mendorong.
Setelah puas menikmati pantai,
kami memutuskan pulang. Seperti yang saya ceritakan tadi, jalan yang kami lalui
teramat indah. Sayangnya, saya malas buat mengabadikannya.
Perjalanan kami diakhiri di Simpang
Lima Gumul, Kediri untuk makan siang menjelang sore.
Seru ya perjalanannya.
ReplyDeleteWah murah ya, aku bisa makan 3 porsi nih :D
ReplyDeleteWah, foto-foto di pantai sine-nya keren.
ReplyDeleteTOP dah pantai sine ...
ReplyDeletepernah ke lokasi 2 kali gue
Daerah Jatim yg msh jarang dilirik traveler..
ReplyDelete