Dari Kota Lama, kami menuju Lawang Sewu dan Klenteng Sam Poo Kong - Kaus yang saya kenakan adalah
kaus yang sama yang saya kenakan ketika berangkat dari rumah menuju Surabaya,
kemudian Semarang. Begitu pula dengan tas ransel – yang beratnya berkilo-kilo –
masih saya panggul lewat kedua bahu saya. Tak ketinggalan tas cokelat
rumbai-rumbai tersilang melewati dada. Usai dari tempat foto akar-akar, kami
berbelok ke arah kiri dan menuju halte Trans Semarang. Kami bertanya kepada
salah seorang perempuan yang akan naik bus juga, bagaimana cara menuju Lawang
Sewu. Salah satu bangunan yang menjadi ikon kota Semarang. Pun bangunan yang
terkenal akan hal-hal di luar nalar.
Halte Trans Semarang yang dekat
dengan Kota Lama ini, berupa bangunan dari besi. Tidak terlihat kokoh dan
memang ketika saya naik, bangunan tersebut bergoyang. Mungkin, tak banyak yang
naik Trans Semarang dari sini, sehingga halte dibangun asal ada.
Bus yang harus kami tumpangi pun
datang. Ini kali pertama saya naik BRT. Tinggi bus dan pintu sejajar dengan halte,
sehingga kami cukup melangkah untuk masuk. BRT amat lenggang, hanya ada kami
berlima – termasuk kernet bus dan sopir -. Kursi BRT ditata di tepi-tepi dengan
bagian tengah untuk orang berdiri. Ada pegangan yang menggelantung di atas
sana. Kami membayar tiket Rp. 3500-, untuk turun di Balai Kota Semarang. Kami
harus turun di sana, untuk menuju Lawang Sewu.
Saya menarik napas lega, karena
punggung saya terbebas dari tas ransel yang berisi pakaian serta keperluan saya
selama empat hari di Semarang, meskipun hanya sejenak. Karena, tak lama
kemudian kami sudah sampai di Balai Kota.
Dari halte Trans Semarang dekat
Balai Kota, kami berjalan lewat trotoar. Kemudian, kami bertanya kepada satpam
yang berada di dekat sana – saya lupa di depan gedung apa- di mana Lawang Sewu.
Beliau berkata, jalan lurus saja, Lawang Sewu ada di pojokan. Kami pun
berjalan, sembari menikmati keriuhan jalan raya kota Semarang. Saya sendiri live
IG sebentar. Terus terang, jalan kaki di kota asing semacam ini, benar-benar
favorit saya. Mungkin, orang lain akan mengira kami gembel atau semacamnya,
tapi bagi saya ini adalah pengalaman berharga dan saya ingin mengulanginya.
Kurang lebih sepuluh menit
berjalan kaki, kami memutuskan berhenti. Duduk di kursi di trotoar, berfoto
ria. Tak peduli beberapa pengendara bermotor memandang kami. Mau bagaimana
lagi, kursi di trotoar ini benar-benar mengundang selera.
Kemudian, kami kembali berjalan.
Baru beberapa langkah, kami melihat sebuah pintu gerbang terbuka. Kami
terkejut, karena ternyata itu pintu gerbang belakang Lawang Sewu. Saya dan Siti
tertawa, ternyata Lawang Sewu tinggal beberapa langkah dan kami justru keasikan
berfoto dekat situ. Awalnya, kami pikir Lawang Sewu masih jauh, harus
menyeberang. Ternyata, benar-benar berada di ujung trotoar jalan.
Lawang Sewu
Lawang Sewu (bahasa Indonesia:
seribu pintu) adalah gedung gedung bersejarah di Indonesia yang berlokasi di
Kota Semarang, Jawa Tengah. Gedung ini, dahulu yang merupakan kantor dari
Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904
dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut
Wilhelminaplein.
Masyarakat setempat menyebutnya
Lawang Sewu karena bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak,
meskipun kenyataannya, jumlah pintunya tidak mencapai seribu. Bangunan ini
memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering
menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Bangunan kuno dan megah berlantai
dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api
Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu
pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro)
dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa
perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika
berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19
Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara
pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai,
Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota
Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan
kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
Saat ini bangunan tua tersebut
telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit
Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero (sumber: wikipedia)
Untuk masuk kawasan Lawang Sewu,
kami dikenakan tarif Rp. 10.000-, per-orang. Sebelum kami berjalan jauh, kami
ditawari untuk guide dengan membayar
biaya guide sebesar Rp. 50.000-,. Menggunakan
guide untuk jalan-jalan di Lawang
Sewu, menurut saya cocok apabila kita datangnya ramai-ramai, tetapi kalau hanya
berdua dan kami hanya ingin eksis saja, tidak perlu memakai guide.
Saya pun mengangkat Etro,
mengarahkan lensanya ke berbagai arah di bangunan ini. Seperti nama bangunannya
sendiri, Lawang Sewu, benar-benar memiliki banyak pintu dan jendela. Saya
pikir, hanya ada satu lantai saja, tetapi bangunan ini memiliki dua lantai.
Di dalam bangunan Lawang Sewu
terdapat replika-replika kereta api dan beberapa pakaian yang dimasukkan di
dalam kaca. Memang, Lawang Sewu menjadi museum. Saya dan Siti mengambil
beberapa foto, karena tempat ini sangat instagramable. Saya sampai kelelahan
melepas tas ransel, jaket dan bergaya. Kemudian, membawa barang-barang tersebut
lagi dan melepasnya lagi ketika mau berfoto. Begitu terus, sampai kami
kelelahan.
Sekitar pukul sebelas siang, kami
memutuskan untuk ke Sam Poo Kong. Kali ini, kami tidak naik BRT atau berjalan
kaki. Kami kelelahan dan akhirnya memutuskan memesan taksi online untuk menuju
Sam Poo Kong.
Sam Poo Kong
Biaya taksi online dari Lawang
Sewu ke Sam Poo Kong sebesar Rp. 11.000,-. Sebagai informasi, sebelum kami memutuskan
naik taksi online atau tidak. Kami mengecek terlebih dahulu, berapa biaya yang
harus kami keluarkan. Tetapi, biaya taksi online di Semarang jauh lebih murah
daripada di Surabaya. Ini saya bandingkan ketika saya memakai taksi online di
Surabaya ketika pulang dari Semarang.
Sesampainya di Sam Poo Kong, kami
makan siang terlebih dahulu. Di depan Sam Poo Kong terdapat warung kaki lima
menjual Mie Kopyok. Akhirnya, kami makan di situ. Mie Kopyok sendiri terdiri
dari mie kuning, touge, tahu goreng yang dipotong-potong, kuah bening dan bumbu
petis. Di atasnya terdapat taburan bawang goreng, daun hijau (lupa ini apa) dan
sepotong jeruk nipis. Rasa Mie Kopyok mengingatkan saya akan Tahu Campur. Tidak
jauh berbedalah. Hanya saja, Mie Kopyok lebih bening tanpa campuran daging.
Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong adalah sebuah petilasan, yaitu
bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok
beragama islam yang bernama Zheng He / Cheng Ho. Terletak di daerah Simongan,
sebelah barat daya Kota Semarang. Tanda yang menunjukan sebagai bekas petilasan
yang berciri keislamanan dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah
kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an".
Disebut Gedung Batu karena
bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu,
orang Indonesia keturunan cina menganggap bangunan itu adalah sebuah kelenteng
- mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan cina sehingga mirip sebuah
kelenteng. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat
pemujaan atau bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan
tersebut, di dalam gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam
Po Tay Djien. Padahal laksamana cheng ho adalah seorang muslim, tetapi oleh
mereka di anggap dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau
Tau menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada
mereka.[1]
Menurut cerita, Laksamana Zheng
He sedang berlayar melewati laut jawa, namun saat melintasi laut jawa, banyak
awak kapalnya yang jatuh sakit, kemudian ia memerintahkan untuk membuang sauh.
Kemudian merapat ke pantai utara semarang untuk berlindung di sebuah Goa dan
mendirikan sebuah masjid di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi
menjadi kelenteng. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota Semarang
di akibatkan pantai utara jawa selalu mengalami proses pendangkalan yang di
akibatkan adanya proses sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan semakin
bertambah luas kearah utara.
Konon, setelah Zheng He
meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan pelayarannya, banyak
awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan kawin dengan penduduk setempat.
Mereka bersawah dan berladang di tempat itu. Zheng He memberikan pelajaran
bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam, di Klenteng ini juga
terdapat Makam Seorang Juru Mudi dari Kapal Laksamana Cheng Ho. (sumber wikipedia)
Untuk masuk ke Sam Poo Kong,
kalau hanya ingin melihat luarnya saja tidak masuk ke dalam bangunan utama –
saya kurang tahu bangunan yang mana, karena banyak – Rp. 5000-, kalau untuk
mengakses seluruh fasilitas Rp. 25.000. Kami memilih yang Rp. 5000,- dan memang
di dalam kami hanya berfoto di luar saja. Dan sumpah, panas banget. Saya sampai
takut pingsan. Karena kami kelelahan, kami bergiliran untuk berkeliling. Satu
berkeliling, satunya lagi menjaga tas-tas di kursi.
Usai dhuzur, kami memutuskan
untuk ke hotel. Saya benar-benar kelelahan membawa tas-tas ini dan wajah saya
sudah memerah minta dimandikan. Yeah, hari itu kami mengakhiri perjalanan
dengan makan malam di Simpang Lima setelah membersihkan diri di hotel.
Selamat datang di kota semarang :D
ReplyDeletesemarang terkadang memang panas, tapi beberapa trotoar sudah ramah untuk para pejalan kaki :D
dulu saya lumayan sering ke Semarang urusan kerjaan. Sayangnya selalu gak sempat jalan-jalan. Pengen ah kapan-kapan ke Semarang lagi buat jalan-jalan :)
ReplyDeleteLaaan, blog kamu kece amiirrr sikk
ReplyDeleteGemeezzzzz
kindly visit my blog: bukanbocahbiasa(dot)com
Mantap :D
ReplyDeleteLiburan yang sangat menyenangkan ya. Jadi pengen ikutan ke Lawang Sewu deh.
ReplyDeleteHehehe, pernah foto-foto tuh di Simpang Lima, spot foto yang lumayan terkenal disana, hehehe...
ReplyDeleteDenger-denger di Lawang sewu kan cukup "menarik" kalau malam hari...
ReplyDeletekangen mi kopyok, pernah sekali nyobain langsung ketagihan, huhuhu,...
ReplyDeleteLawang Sewu, Simpang Lima, Tenannya suasana kota di pagi hari. Sebuah hal yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
ReplyDeleteAbis ini mau jalan-jalan ke mana mbak? Hehehehe...
ReplyDeleteFoto yang di pintu-pintu terbuka itu keren banget mbak, artistik banget.
ReplyDeleteLiburan yang sangat menyenangkan sekali, walaupun pasti raga terasa lelah, tapi jiwa merasa bahagia.
ReplyDelete