Masjid Agung Jawa Tengah, Pagoda Avalokitesvara, dan bermalam minggu di Waroeng Semawis - Hari kedua kami di Semarang,
termasuk pengalaman yang cukup membuat saya “uh?”, yang tak akan pernah saya lupakan. Sedikit kesal iya, sedikit
nggak ngerti iya, dan malunya banyak. Nanti bakalan saya ceritakan pada bagian
ini, jadi silakan baca sampai habis. Karena, pengalaman ini saya rasakan
sendiri dan hampir satu bulan tak ada orang yang tahu. Mungkin, jika kalian
orang pertama yang membaca postingan ini, adalah orang pertama yang tahu.
Bahkan, Siti partner mbolang ke
Semarang saja tidak tahu, kenapa saya seharian menjadi bete pakai banget.
Sebenarnya, cerita di blog ini
pun saya agak-agak malu, tetapi saya ingin pengalaman saya bisa menjadi
pelajaran untuk orang lain. Serius, saat itu saya benar-benar merasa hina dan
tak pantas untuk hidup *mulai lebai*.
Hari itu, kami tidak manja dengan
langsung naik taksi online, tetapi kami berjalan dari hotel ke arah jalan raya.
Di sana, saya mampir ke mini market membeli susu beruang, kemudian melanjutkan
perjalanan ke arah kanan menuju halte Trans Semarang yang berada di dekat pasar.
Jadi, hotel yang saya tinggali dekat dengan jalan raya, indomaret, pasar dan
halte Trans Semarang. Selain halte, di pasar tersebut juga banyak angkot.
Akhirnya, kami naik Trans
Semarang untuk menuju Masjid Agung Jawa Tengah. Kami turun di Giant (kalau
tidak salah ingat – Ya Allah, aku ke Semarang April lalu!). Dari Giant kami
memesan taksi online untuk menuju ke Masjid Agung Jawa Tengah. Sesampainya di
sana, kami turun di pintu depan. Di tepi jalan. Untuk menuju masjidnya, kami
harus berjalan kaki lumayan jauh. Karena ini masjid benar-benar megah, Guys! Bagus
banget pula.
Di sebelah kiri masjid bagian
depan ada menara, yang nantinya saya akan naik ke sana. Ketika di dekat masjid
saya melihat beberapa renovasi, tetapi tidak banyak. Tentu saja, saya berfoto
di sana bersama Siti.
Seharusnya, kami datang ketika
hari Jum’at, pas salat Jumat. Karena, setiap salat Jum’at payung-payung besar
di halaman masjid akan dibuka. Pastinya akan lebih indah. Kemarin, kami tidak
ke sini lantaran takut ramai – yaiyalah!
Ada batas suci dalam halaman
masjid, sehingga untuk ke dalam masjid kami harus melepas alas kaki jauh dari
bangunan masjid. Itu berarti, kami harus bertelanjang kaki di atas lantai yang
panas. Syukur Alhamdulillah, saat itu matahari sedang terik-teriknya.
Dan ketika saya masuk ke
masjidlah, kejadian itu terjadi. Ceritanya, saya mengenakan rok pendek di bawah
lutut. Ketika masuk masjid, ada mbak-mbak penjaga masjid menghampiri saya.
Dengan tatapan entah saya tidak bisa
mengartikan bengong atau bagaimana, mengisyaratkan kalau masuk masjid harus
memakai celana panjang atau rok panjang. Ya Allah, saya langsung minta maaf dan
melipir. Pergi dari situ segera – sedih rasanya.
Tak usah diungkapkan lebih lanjut
bagaimana perasaan saya ya, sampai sekarang ketika saya menulis ini, rasanya
masih campur aduk. Sejak kejadian itu, saya jadi badmood seharian. Rasanya ingin segera hengkang dari masjid segera-
xoxo. Sebenarnya, sebelumnya Siti sudah mengingatkan, kalau kita ke masjid
mungkin saja harus pakai pakaian yang lebih sopan, tapi saya keukeh pakai rok
pendek saat itu.
Sebenarnya, saya ingin segera
pergi dari masjid, tetapi Siti mengajak saya naik ke menara. Karena memang
sayang banget, sudah sampai di Semarang, akhirnya saya iyakan. Kami membeli
tiket masuk seharga Rp. 7500. Lalu, kami bergantian naik lift, karena banyak
pengunjung juga. Di atas anginnya kenceng, Sai. Rok saya berkibar, karena masih
badmood saya pun semakin risih.
Untunglah, kami tidak lama di sana dan segera pergi.
Sebelum kami pergi dari menara,
kami mampir ke museum dulu. Saya lupa nama museumnya, tetapi memang masih
berada di menara tersebut. Setelah itu, kami benar-benar keluar dari area
masjid. Untunglah, Siti tidak mengajak saya salat dzuhur di situ- hehe.
Sebelum kami memesan taksi
online, kami minum es campur yang mangkal di tepi jalan tepat sebelah pintu
masjid. Karena memang Semarang sedang panas-panasnya.
Padang Rani, Kota Lama Semarang
Dari Masjid Agung kami ke Kota
Lama lagi, karena kemarin belum puas lantaran Padang Rani belum buka. Kali ini,
kami menjelajah Padang Rani yang menjual barang-barang vintage dan melakukan foto. Di Padang Rani, saya menemukan beberapa
kamera tua, cangkir-cangkir model lama, kalung-kalung etnik, lampu-lampu
cantik, dan beberapa benda menarik lainnya.
Siang itu begitu terik, tapi tak
menyurutkan semangat kami untuk melihat-lihat benda di Padang Rani, terutama
saya yang memang pecinta vintage. Usai dari Kota Lama, kami melanjutkan
perjalanan ke Watu Gong.
Pagoda
Avalokitesvara atau Watu Gong
Perjalanan dari Kota Lama menuju
Watu Gong cukup lama, kira-kira satu jam hingga sampai halte Trans Semarang
yang dekat dengan Watu Gong. Saya benar-benar lupa daerah halte tersebut (maaf
ya). Dari sana, kami memesan taksi online lagi. Sebenarnya, bisa saja naik angkot
ke sana atau jalan kaki kalau mau – xoxo. Lokasi Watu Gong berada di tepi jalan
raya, sehingga mudah dijangkau.
Kali ini, kami mendapatkan supir
taksi online yang masih muda serta tampan – penting banget – tapi sayangnya,
agak kurang sigap. Dia menyopir sampai melewati lokasi Watu Gong, sehingga
harus berputar arah cukup jauh. Untung saja kamu ganteng, Mas.
Tak usah ditanyakan lagi, apa
yang kami lakukan di Watu Gong. Tentu saja foto-foto – xoxo. Sayangnya,
sesampainya di sana langit menjadi muram. Sehingga, hasil foto kami pun kurang
menarik karena langit mendung. Tahu sendiri, saya suka foto outdoor dengan langit biru dan awan
putih sebagai latarnya.
Tak lama setelah foto-foto, hujan
pun turun. Deras banget, disertai angin pula. Kami pun berteduh di bawah saung
dekat bangunan pagoda bersama beberapa remaja putri yang kebetulan ke sana. Ya,
meskipun sudah berlindung, karena hujan dan angin kami pun masih kebasahan.
Saya buru-buru melindungi Etro.
Setelah hujan usai, kami mengambil
beberapa foto di dalam pagoda, setelah itu kami memutuskan untuk kembali ke
Semarang Kota. Kami naik angkot untuk menuju halte Trans Semarang terdekat.
Sesampainya di halte – di situ ada pasar – kami memutuskan untuk sholat
sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan. Tentu saja, tidak langsung balik ke
hotel meskipun hari sudah sore.
Kami memutuskan untuk wisata
kuliner ke Waroeng Semawis atau pecinan Semarang.
Waroeng Semawis , Jawa Tengah
Kali pertama mendengar Waroeng
Semawis, yang ada di otak saya adalah sebuah warung dengan nama Semawis.
Ternyata, itu adalah nama sebuah jalan yang dijadikan pasar kuliner di
Semarang. Mungkin, kalau saya bilang Pecinan, teman-teman akan lebih paham.
Waroeng Semawis sebenarnya adalah
jalanan biasa, yang ketika weekend
dijadikan pasar kuliner dengan konsep tenda-tenda. Jajanan di sini beragam. Kue
leker, jajanan ala Korea, cumi bakar dan segala macam makanan. Tetapi, bagi
umat muslim kudu hati-hati juga karena ada beberapa yang menjual makanan yang
mengandung Babi. Tentu saja, pasar kuliner ini dipenuhi oleh orang-orang
Tionghoa.
Saya dan Siti membeli makan malam
berupa ayam yang dibumbui dengan rempah-rempah yang nikmat. Lalu, saya membeli
jajanan khas Korea, Odeng. Rasanya enak banget, saya suka. Rasanya semacam ikan
dengan kuah yang segar.
Usai dari Waroeng Semawis, kami pergi
ke Klenteng Tae Kak Sie yang berada tepat di sebelah jalan Waroeng Semawis.
Dari pintu belakang Waroeng Semawis ke arah kiri, melewati jembatan (sungai)
kemudian belok kiri, lurus. Sebelah kanan sudah menemukan Klenteng Tae Kak Sie.
Sebelum kembali ke hotel, kami
membeli kue leker lagi untuk dimakan di hotel.
Duuhh..jadi ga enak Saya, apa yg dikhawatirkan bnr2 terjadi dan kamu diam saja. Huhuhuh
ReplyDeleteTau begitu, mungkin saya ga akan minta agak lama disana
Lagi lagi saya tergoda utk balik lg ke semarang.. Tergoda dg makanan dan melihat Masjid Agung jawa tengah yang keren bgt. Duh.. Nyesel dl pernah sebulan disana ga keliling😂
ReplyDeletemakasih mbak, keren masjidnya, pengen ke sini. Kata temen, di sini panas banget ya?
ReplyDelete